Tidak. Kamu Harus Berhenti!

Baru saja minggu lalu aku ingin menanyakannya secara langsung kepadamu. Baru kususun kalimat pengakuan agar tidak membebani dan membuatmu merasa tidak nyaman. Masih tersimpan rapi dalam draft ponselku. Sayangnya draft pengakuan tersebut hanya akan tersimpat dalam ponselku kini dan mungkin sampai nanti. Selamanya tersimpan? ah sepertinya tidak. Namun sampai saat ini akan tetap kusimpan, sampai aku rela.

Waktu itu adalah jam makan siangku di kantor. Aku memesan ayam geprek Barokah. Kuambil makananku di satpam bawah. Tiba tiba ponselku berkedip. Aku melihat namamu tertulis di layar ponselku. Nama paling favorit yang entah kenapa selalu membuatku senang sekaligus berdegup setiap kali membaca notifikasimu baik itu chat pribadi atau melalui group Whatsaap kita. Aahh aku senang. Lama tidak mendengar kabarmu.

Aku memang sudah menyadari jika kita sudah tidak pernah bertegur sapa cukup lama baik melalui Whatsaap atau secara langsung. Sepertinya terakhir kali kita bertemu adalah pada saat di Jogja. Saat itu kamu sempat menanyakan bioskop di Jogja. Dari pertanyaanmu aku menangkap, ahh atau mungkin aku hanya GR saja, seolah kamu ingin mengajakku ke bioskop. Sayangnya saat itu aku bekerja, jadi aku tidak bisa menemanimu. Di pagi harinya entah memang takdir atau kebetulan, akhirnya kita tetap bertemu. Kamu mengajakku makan siang, lalu aku mengajakmu ke bioskop. Kita menonton Air Mata di Ujung Sajadah. Bukan karena ingin menontonnya, tapi karena memang itu satu satunya film yang akan diputar pada jam tersebut. Mungkin itu pertama kalinya kamu melihatku menangis meskipun hanya karena menonton film sedih. Aku senang sekali. Setelah 6 tahun, itu pertama kalinya kita keluar berdua, meskipun karena tidak sengaja. Setelah selesai, kamu langsung mengejar kereta untuk kembali bekerja ke luar kota. 

Rasanya baru kemarin aku masih sangat percaya diri jika kita akan berakhir bersama. Sampai saat ini tiket bioskopmu masih tersimpan rapi di dompet usangku. Bahkan fotomu saat berjalan menuju FoodGarden yang kuambil secara diam-diam masih aku simpan. Eh ada satu lagi, kamu mengirimkan foto di dalam lift menuju parkiran. Aku juga masih menyimpannya. Saat itu tanggal 19 September 2023. 

Setelah itu aku beberapa kali membangun komunikasi melalui Whatsapp denganmu. Entah kenapa semua rasanya berbeda. Terasa asing. Beberapa kali aku mengomentari status Whatsappmu. Kamu terasa dingin. Aku coba berbasa basi menanyakan tukang printer daerah Muntilan, meminta tolong untuk transfer uang senilai 100.000, menanyakan pengalaman ikut BLK Magelang, aku mencoba megajakmu diskusi perihal pendaftaran CPNS. Bahkan aku juga mencoba mengajakmu untuk bertemu dengan alasan akan mengembalikan bukumu. Beberapa kali aku bahkan menciptakan kebetulan kebetulan yang di sengaja agar aku bisa bertemu denganmu. Beberapa kali aku memutar jalan melewati rumahmu agar bisa menciptakan kebetulan itu. Ahh tapi memang sudah tidak sama. Kamu menjauh.

Aku merasa jika ini semakin konyol. Sepertinya tanganku sudah tidak bersambut. Aku mulai mundur perlahan, berharap kamu menangkapku kembali. Sayangnya kamu melepaskanku. Aku mundur, tapi aku tetap mengharapkanmu. Aku tetap terus memintamu dari Tuhanku setiap malam. Tetap kupeluk erat namamu dalam setiap doaku, kupaksa Tuhan agar memberikanmu padaku. Dalam diam aku tetap memanggilmu.

Kerlip ponsel menyadarkanku kembali. Saat kubuka pesan darimu hatiku runtuh, kakiku lemas, kepalaku terasa berat. Perlahan aku membawaku diriku menuju realita. Namamu tertulis dalam undangan, bersanding dengan nama seorang wanita. Belum berani kubuka undanganmu. Aku masih berfikir mungkin ini hanya Prank. Kubuka perlahan undanganmu, ahh ini bukan mimpi. Dua hari lagi.

Dalam dua hari terkahir aku masih tetap mendekap erat namamu dalam doaku. Jahat ya, memang. Hingga akhirnya di satu malam terakhir doaku berganti. Selama 6 tahun aku memintamu dari Tuhanku, kali ini aku melepaskan namamu dari pelukanku. Nama yang selama 6 tahun kusebut, kini akan menjadi  malam terakhir kusebut. Bukan! aku sudah tidak memintamu lagi. Malam ini aku akan melepaskan namamu agar terbang bebas ke angkasa. Tidak akan kudekap lagi namamu dalam pelukku. Tidak akan lagi kupaksa Tuhan untuk memberikanmu padaku. Kulepasakan namamu, agar Tuhan bisa membawamu menuju takdir yang indah. Agar doaku atas kamu tidak lagi menjadi penghalang takdir takdirmu.  

Aku belum sepenuhnya rela, namun aku pasti akan merelakanmu. Saat ini yang baru bisa kulepasakan adalah dengan tidak menyebutmu lagi dalam doaku. Tentang rasa yang masih tersisa, akan kuusahakan, pelan pelan. 

Akan kuusahakan agar semua rasa kecewa dan patah hati ini menjadi rasa syukur dan ikhlas.

Tapi maaf, kisahmu akan tetap abadi dalam tulisanku. Akan tetap kukenang beberapa potong cerita yang kuanggap istimewa. Bukan karena masih ingin mengenangmu, hanya agar aku bisa melepaskan semunya. Agar tidak menyisakan sakit di dalam diriku. Agar aku bisa sembuh secara perlahan. Dengan mengingat semuanya, aku harap aku akan tetap bisa bersyukur pernah menyimpanmu sebagai bagian dari diriku. 

Aku masih percaya bahwa Tuhan tidak akan memperkenalkan kita dengan seseorang tanpa sebab. Aku harap aku bisa segera menemukan alasan dan pelajaran mengapa Tuhan memperkenalkanmu padaku.

Maaf doaku untukmu masih terasa berat. Semoga kamu bahagia. Suatu saat akan kuusahakan agar aku bisa berdoa dengan tulus, supaya doaku bisa turut serta membawamu menuju takdir takdir yang baik.

Selamat tinggal. Aku akhiri sampai disini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah aku menyukaimu?